“IMM DI TENGAH ARUS TAK BERMORAL”
IMMawan Ahmad***
Hancurnya tatanan sosial yang selama ini terbangun karena moral yang rapuh, yang menyebabkan kehidupan menjadi serba instan dan mekanik. Salah satu tolak ukur yang bisa digunakan untuk menilai bangunan kehidupan suatu masyarakat adalah pendekatan moralnya. Apakah bangunan kehidupan itu masih patuh dikatakan tegak dan kokoh? Atau sudah memasuki ambang kehancuran?
IMM yang menjadi bagian dari kehidupan itu menjadi dilematis dalam menentukan sikapnya dan arah gerakannya kedepan. Penilaian yang agak lebih objetif sering datang dari pihak luar. Penilaian pada diri sendiri lebih banyak dan berat bobot subjektifnya, karena ada perasaan takut , rasa inferior dan semacamnya, yang mengakibatkan diri bersifat tertutup dan tidak ada semangat kuat untuk berbenah diri. Manusia seperti ini sering merasa benar sendiri dan cenderung saling menyalahkan dalam melihat persoalan, baik yang sifatnya struktural maupun non-struktural.
Hal ini bisa saja terjadi dalam masyarakat kampus atau mungkin bisa menjangkit kader IMM, seperti yang disindir oleh Jose Otace Gesset, filosof asal Spanyol, “mengalami rusak berat karena meniniggalkan komitment moralnya. Mereka menjadi komunitas yang liar, mengagungkan dan memenangkan pola hidup fulgar dan amoral. Mereka gemar dan mengabsahkan penyimpangan dan pemasungan nilai-nilai kebenaran. ( M. Irfan, Abdul Wahid. 2000 )
Potret manusia seperti itu merupakan representase manusia di abad 21 ini yang menyukai keliaran dan kebiadaban, baik pada diri sendiri maupun sesamanya. Mereka arogan dengan kreasi-kreasi sains, menkultuskan profesi dan mengapresiasikannya dijalur kompotisi bebas nilai. Sosok manusia seperti itulah yang dikategorikan sebagai pencemar peradaban, yang kejiwaannya terjajah oleh oirentasi dan tuntunan materialistik yang “dimahatinggikan”, yang menempatkan kehidupan sesama hanya sebgai objek perburuan hasrat-hasrat bebasnya. Bagi komunitas yang taat beragama corak masyarakat seperti itu merupakan ancaman yang membahayakan dinamika kesejarahan.
Besarnya ancaman terhadap bangunan masyarakat yang tak berpondasi moral itu terbukti dengan di utusnya Nabi Muhammad SAW, untuk mengembalikan dan membebaskan masyarakat dari kebiadaban atau penafian moral menjadi masyarakat bermoral ( akhlak ). Inilah yang dilakukan oleh Muhammad dimana kondisi itu terjadi di arab yang begitu kejam dan bengis, diskriminatif ,eksploitasi sering terjadi. Kondisi itu juga terjadi hingga sekarang yang terjebak pada pada dunia fatamorgana kehidupan. Mereka yang punya ilmu pengetahuan tapi tidak memiliki arti apa-apa, mereka memilih jalan yang kontara dengan nilai-nilai kemanusiaan, mereka yang dengan sadis menghabisi dan merampas hak-hak rakyat kecil.
Mereka membutakan mata hatinya, kepekaan moral dan spritualnya ditumpulkan, diimpotensikan dan dimandulkan. Mereka sibuk dengan “memperbudak” diri atau diperbudak oleh tuntutan penumpukan kekayaan, pemujaan target-target kebendaan dan nafsu kebinatangan. Mereka sedang terbius oleh pesona karier dan meterialisasi profesi yang terus mendesaknya. Begitu kuatnya tarikan itu sehingga mereka memilih jalan kriminalitas yang bertentangan dengan sumpah jabatan dan kode etik profesinya. Mereka lapuk oleh gelora nafsu yang ditempatkan sebagai tuan dan “tuhannya”.
Allah SWT. memperingatkan lewat firmaNya
“ pernahkah engkau melihat yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Allah membiarkanya sesat dengan ilmunya dan Allah mengunci (menutup) pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas kepalannya itu” ( QS. Al-Jatsiyah: 23 )
Peringatan Allah itu menunjukkan pada sosok manusia berilmu, yang kehilangan komitment sejati keilmuannya. Mereka mampu membedakan antara yang baik, benar, salah dan jahat ( munkar ) mereka menutup mata batinnya dan membuka mata “Kaca mata anjingnya”. Sosok manusia yang kehilangan ahlakul karimah-nya individu seperti itu menunjukkan bahwa dia gagal menyelamatkan dirinya dari belenggu dan kemunafikan “ pemberhalaan” nafsu-nafsunya. Nafsu kebinatangan diibaratkan mengembara dan menguasai hasrat keberagaman dan kemanusiaanya.
Semua aktivitas hidupnya tidak lagi ditempatkan sebagai pekerjaan yang bernuaansa “IBADAH” yang berimplikasi transendental dan kemanusiaan, melainkan berbentuk usaha atau layanan sosial yang menghalalkan pembinasaan hak-hak hidup manusia.
Ilmuan terkemuka indonesia, Soejatmoko mengatakan” Agama harus mengaitkan tanggung jawab etis dan tujuan-tujuan moral dengan peran aktif dalam proses menentukan sejarah. Agama harus mengajarkan cara berfikir dan jiwa yang menuh kerendahan hati yang amat diperlukan di zaman yang ditandai dengan perubahan-perubahan yang pesat dan tak terduga”
Pernyataan Soejatmiko itu mempertegas komitmen manusia pada agamanya. Manusia yang sudah menjastifikasi dirinya sebgai mahluk ciptaan yang punya tugas berat dipermukaan bumi ( khalifa ). Sudah seharusnya manusia mengartikulasikan teks-teks Al-Qur’an dalam kehidupan demi terwujudnya keselarasan dan terbentuknya sistem sosial kondusif. Jangan sampai kita seperti yang digambarkan Nabi Muhammad SAW.
“Umatku akan ditimpa bencana, jika ilmu pengetahuan yang dipelajarinya bukan untuk menguatkan keyakinan terhadap agamanya”
Konstruk Paradigma IMM
Ditengah arus tak bermoral ini, IMM harus melakukan rekonstrusi paradigama terhadap kondisi kemasyarakatan dan bahkan sudah menjangkit kaum terdidik (akademisi) dimana “pendidikan hanya berfungsi sebagai ajang untuk mendapatkan gelar dan pekerjaan (pragmatisme pendidikan)”. Yang seharusnya para penyelenggara pendidikan melakukan rekonstruksi paradigma (kebijakan dan perilaku) demi mencerdaskan anak bangsa ditengah arus yang tak bermoral ini.
IMM sebagai gerakan Spritualitas, Intelektualitas dan Humanitas dengan tujuaan “ Mengusahakan terbentuknya akademisi islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiya” harus mampau menyentuh lapisan masyarakat sampai lapisan terbawah. Kehadiran IMM ditengah arus tak bermoral yang hampir menjangkit semua lapisan masyarakat, “yang seakan kehilangan jati diri dan tercemar nuraninya, tereduksi kebebasan berfikir dan independensinya yang hanya membudakkan dirinya pada seseorang dan kekuatan yang berhasil menjajahnya”(Lewis Yablonsky).
Gerakan spritual harus menjadi tawaran solusi dari kondisi masyarakat seperti di atas, dimana masyarakata harus dibersihkan dari pola berfikir paragmatis serta dimurnikan aqidahnya. Hal ini oleh Konto Wijoyo, harus dilakukan liberasi (nahi mungkar) pembebasan manusia dari keterkungkungan berfikir, menghabakan diri pada benda dan pada penguasa yang dzolim. Kekuatan spritual akan menjadi landasan dan ponadasi yang akan mengantarkan manusia pada keselamatan dunia dan ahirat (transendensi ).
IMM harus tampil sebagai juru selamat yang dapat memberikan petunjuk dan arahan dengan memaksimalkan kaderisasi supaya IMM tidak tercerabut dari akar paradigmatiknya seperti apa yang dikatakan pak. Ketua (Ya’Kub). Kaderisasi adalah sebuah proses penyadaran, akan jati diri seorang manusia, untuk apa ia diciptakan dan mau kemana? Sehingga tidak kehilangan jati diri yang sebenarnya, oleh Pak. Sek (Yusran ) Disebut kesadaran tak menentu ( kadang sadar dan kadang tidak ( fallace ).
IMM juga harus memantapkan gerakan Intelektualnya khususnya dikalangan mahasiswa dimana kondisi mahasiswa hari ini sangat menghawatirkan dan memperihatinkan karena sudah dijangkit oleh sifat, apatis, hedonis, dan pragmatis bahkan lebih parahnya lagi sudah tidak mencerminkan sebagai kaum terdidik (masyarakat ilmiah) dengan terlibat tauran atau perkelahian antar sesama. Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut karena akan merusak tatanan sosial dan merusak citra kaum terdidik (akademisi). Pencerdasan dengan membudayakaan tradisi membaca, menulis, diskusi, kajian dan dialog akan meretas kesenggangan yang akan mempererat tali persaudaran karena dibangun diatas rasionalitas dan ilmu pengetahuan, sehingga tindakan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh mahasiswa tidak terulang.
Paradigma yang harus dibangun oleh kader-kader IMM adalah paradigma holistik (utuh), tidak melihat realitas dan persoalan secara parsial sehingga tidak bersikap emosional dalam menyelesaikan persoalan, tapi lebih bersikap bijaksana dalam menyelesaiakan masalah. Cara padang yang beberda adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, karena perbedaan latar belakang pendidikan, pengalaman, dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang membentuk karakter sesorang. Perbedaan tersebut perlu dibangun di atas landasan kebenaran supaya tidak terjerumus pada kesetan ( perbutan mungkar ).
Maka dari itu kekuatan spritual dan intelektual harus seiring dan sejalan supaya menghasilkan artikulasi yang jelas dan mampu mendorong kepekaan serta kepedulian sosial ( humanis ). Apabila kekuatan ini bersatu maka cita-cita IMM akan tercapai dengan menghasilkan sosok manusia yang luar biasa ( sang pencerah ). Sehingga cita-cita peserikatan ( Muhammadiyah ) akan mudah tercapai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Supaya kita tak gampang menjadi bangsa pemarah mudah terpancing oleh rumor yang menyesatkan dan menyulut radikalisme sosial, sebab kita didik oleh agama yang mengunggulkan kesetiakawan (persaudaraan) dan cinta kasih.“Tidak disebut beriman diantara kalian, sehingga mencintai saudaranya sebagaimana mencintai diri sendiri”, demikian penegasan Nabi Muhammad SAW.
Kata cinta yang disabdakan Nabi di atas pernah pula diungkapkan oleh Jalaluddin Rumi, “tanpa cinta, dunia akan membeku. Cintalah yang semestinya menjadi pilar utama bagi bangunan hubungan antar manusia, antar bangsa, antar kebudayaan dan sistem hidup yang berbeda”
Apa yang dideskripsikan oleh Jalaludidin Rumi di atas menginsyaratkan kepada kita semua bahwa cinta dapat memediasi keragaman menjadi “kebersamaan” dan mencairkan kebekuan serta membedah kultur eksklusifitas. Cinta sesama ( ikatan ) dapat melahirkan jiwa solidaritas dan tak berpangku tangan tatkala sesamanya di aniaya oleh tangan-tangan jahat.
Masing-masing pribadi ahirnya dapat Hidup saling berdampingan, bekerja sama dalam sebuah urusan, tak memandang kekurangan sesama dan saling memberi nasehat serta berbuat kebaikan ( Fastabiqul Khaerat ).
Dan bukan sebuah kemustahilan untuk menjalin dan memupuk kebersamaan dalam keragaman (pluralitas) etnis, ras, agama dan antar golongan jika kita tidak gampang terbawa emosi, ketamakan, provokasi dan ambisi kekuasaan.
Mari kuatkan barisan dalam memperjuangkan kebenaran!! Jayalah IMM Jaya, Abadi perjuangan Kita.
No comments:
Post a Comment